Pendidikan untuk Anak
Sûřįŷă-Ăŧĵěĥ - DALAM proses perkembangan pemikiran pendidikan, kegiatan pendidikan berkembang dari konsep paedagogi, andragogi dan education. Dalam konsep paedagogi, kegiatan pendidikan ditujukan hanya kepada anak yang belum dewasa (paeda artinya anak). Tujuannya untuk mendewasakan anak. Namun, karena banyak hasil didikan yang justru menggambarkan perilaku yang tidak dewasa, maka sebagai antitesis dari kenyataan itu, muncullah gerakan andragogi. Selanjutnya gerakan modern memunculkan konsep education yang berfungsi ganda, yakni transfer of knowledge dan making scientific attitude.
Bernadib, (1995:35) menyebutkan bahwa dalam ilmu pendidikan dikenal beberapa faktor pendidikan. Para ahli pendidikan membagi faktor pendidikan menjadi lima macam faktor, antara lain; 1) faktor tujuan, 2) faktor pendidik, 3) faktor anak didik, 4) faktor alat-alat dan 5) faktor alam sekitar. Kemudian, Paulo Freire (2003:7) mengemukakan 7 (tujuh) prinsip dasar praktik pendidikan; salah satunya adalah mengajar bukanlah sekadar proses mengalihkan pengetahuan melainkan proses untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan bagi produksi dan konstruksi pengetahuan (baru).
Bernadib, (1995:35) menyebutkan bahwa dalam ilmu pendidikan dikenal beberapa faktor pendidikan. Para ahli pendidikan membagi faktor pendidikan menjadi lima macam faktor, antara lain; 1) faktor tujuan, 2) faktor pendidik, 3) faktor anak didik, 4) faktor alat-alat dan 5) faktor alam sekitar. Kemudian, Paulo Freire (2003:7) mengemukakan 7 (tujuh) prinsip dasar praktik pendidikan; salah satunya adalah mengajar bukanlah sekadar proses mengalihkan pengetahuan melainkan proses untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan bagi produksi dan konstruksi pengetahuan (baru).
Untuk itu, Aceh sebagai sebuah provinsi yang sedang bangkit dari puluhan tahun berkonflik dan bencana tsunami, sudah sewajarnya menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih subtansial untuk melahirkan generasi Aceh ke depan yang berkualitas, moralitas dan relegiusitas yang tinggi. Gagasan pendidikan untuk anak dengan basis keluarga, sekolah dan lingkungannya sudah seharusnya di optimalkan. Perumusan pendidikan berbasis anak untuk kemaslahan berbangsa dan bernegara mutlak harus merata diterapkan oleh Provinsi untuk seluruh wilayah di Aceh. Dengan konsep pemerataan pendidikan antar kabupaten/kota di Aceh niscaya kemajuan dan kebersamaan Aceh akan terus berlanjut untuk kemajuan bersama.
Basis Pendidikan Anak
Dalam berbagai literatur, kita sering menemukan bahwa dalam pembentukan watak dan kepribadian seorang anak tidak terlepas dari tiga basis utama. Pertama basis keluarga, kedua sekolah dan ketiga adalah basis masyarakat. Dalam ranah keilmuan sering disebut dengan tri pusat pendidikan. Sebagai basis pertama, keluarga menjadi pondasi awal terbentuknya watak anak, tak terlepas dari pembuahan, kehamilan sampai pada proses persalinan. Proses itu sangat berperan terhadap pembentukan kepribadian seorang anak ke depan. Dalam agama sering disebutkan, bahwa awal mula terbentuknya karakteristik anak terjadi dari bagaimana orang tua mendidik dan membesarkannya. Dimulai ketika janin masih berada dalam kandungan dan seterusnya.
Sebagai seorang muslim, kita sering dianjurkan untuk sesering mungkin melantunkan ayat-ayat suci Alquran, dan juga ritual ibadah lainnya yang dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Selain sebagai ibadah, hal tersebut dapat membentuk watak anak yang masih berada dalam kandungan. Walau janin tidak bisa melihat proses yang dilakukan keluarganya (bapak dan ibunya), namun ia dapat mendengar dan merasakan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Beranjak ketika anak lahir ke dunia, tantangan yang lebih besar akan dihadapi oleh keluarga dalam memberikan pendidikan lanjutan untuk anak. Teladan yang baik dari keluarga dapat melahirkan kepribadian anak yang tangguh karena keluarga tempat segala tumpuan harapan dan cita-cita anak tersedia.
Basis kedua adalah sekolah. Pada rentang waktu usia sekolah, pendidikan anak bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawa orang tua di rumah, tapi juga bersama-sama dengan tenaga pendidik di sekolah mewujudkan pribadi anak yang berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Di sekolah anak-anak dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan demi perkembangan masa depan anak. Di sinilah pendidikan formal anak diberikan, dan disini pula basis penting dalam rentan waktu tumbuh kembang anak kearah yang lebih baik bagi dirinya, keluarga dan agamanya.
Untuk mencapai itu, peran guru tak bisa disepelekan. Dengan berbagai latar belakang pendidikan, sesuai dengan profesionalisme di bidang masing-masing seorang guru akan memberikan bimbingan, didikan dan arahan agar anak didikannya menjadi anak didik sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah dituangkan dalam tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK). Maka bukan mudah menjadi seorang pendidik, karena yang mereka hadapi bukanlah robot melainkan manusia yang memiliki karakteristik berbeda-beda setiap anak. kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah menjadi panduan dalam merumuskan kriteria keberhasilan anak didik. Peran guru dewasa ini bukan hanya sebatas transfer of knowledge, tapi seorang guru harus berperan sebagai transfer of value (nilai) terhadap anak didiknya.
Persoalannya adalah menyiapkan tenaga pendidik sesuai dengan harapan dan cita-cita kita semua bukanlah perkara mudah. Membutuhkan perhatian serius dari pemerintah agar apa yang diharapkan dapat benar-benar terjadi. Bagaimana seorang guru mampu mengaplikasikan keilmuannya tanpa dibarengi dengan peralatan pembelajaran yang siap pakai. Sehingga apapun keperluan guru dalam mengaplikasikan keilmuannya dapat terlaksana dengan maksimal. Disisi lain, seorang guru juga di tuntut untuk terus meningkatkan kapasitas dirinya untuk demi kemaslahatan semua.
Munculnya fenomena bahwa sekolah dan guru diarahkan sebagai tanggung jawab mutlak terhadap keberhasilan anak didik. Fenomena ini terjadi bisa jadi disebabkan dari beberapa hal diantaranya, kurang pahamnya orang tua terhadap pendidikan anak yang menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada sekolah karena alasan keluarganya sibuk bekerja. Tidak jarang, ada anak yang tidak bisa mengikuti proses pendidikan sebagaimana mestinya karena harus membantu orang tuanya bekerja. Fenomena-fenomena itulah potret baru pendidikan kita di Aceh. Sudah seharusnya pemerintah dan elemen swasta bekerja sama untuk merubah pola pikir masyarakah Aceh saat ini.
Basis ketiga adalah masyarakat. Peranan masyarakat sangat menentukan juga terhadap pembentukan kepribadian anak. Anak akan bersosialisasi dengan temannya, warga sekitarnya dalam kehidupan kelompok masyarakat sangat dominan. Jadi tak jarang anak dengan kehidupan sosialnya yang kurang kondusif akan berdampak terhadap keberhasilan seorang anak akan lambat. Sebagai kata akhir, bahwa pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua dalam keluarganya, namun sekolah dan masyarakat turun bemberikan andil besar terhadap kepribadian anak. Jangan pernah menyalahkan anak terhadap kekeliruan yang dibuatnya tapi lihatlah apa yang terjadi dalam keluarganya, sekolah dan dalam masyarakatnya. Anak tidak pernah menjadi pelaku kekeliruan tapi anak adalah korban kekeliruan yang terjadi di sekitarnya.
Basis Pendidikan Anak
Dalam berbagai literatur, kita sering menemukan bahwa dalam pembentukan watak dan kepribadian seorang anak tidak terlepas dari tiga basis utama. Pertama basis keluarga, kedua sekolah dan ketiga adalah basis masyarakat. Dalam ranah keilmuan sering disebut dengan tri pusat pendidikan. Sebagai basis pertama, keluarga menjadi pondasi awal terbentuknya watak anak, tak terlepas dari pembuahan, kehamilan sampai pada proses persalinan. Proses itu sangat berperan terhadap pembentukan kepribadian seorang anak ke depan. Dalam agama sering disebutkan, bahwa awal mula terbentuknya karakteristik anak terjadi dari bagaimana orang tua mendidik dan membesarkannya. Dimulai ketika janin masih berada dalam kandungan dan seterusnya.
Sebagai seorang muslim, kita sering dianjurkan untuk sesering mungkin melantunkan ayat-ayat suci Alquran, dan juga ritual ibadah lainnya yang dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Selain sebagai ibadah, hal tersebut dapat membentuk watak anak yang masih berada dalam kandungan. Walau janin tidak bisa melihat proses yang dilakukan keluarganya (bapak dan ibunya), namun ia dapat mendengar dan merasakan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Beranjak ketika anak lahir ke dunia, tantangan yang lebih besar akan dihadapi oleh keluarga dalam memberikan pendidikan lanjutan untuk anak. Teladan yang baik dari keluarga dapat melahirkan kepribadian anak yang tangguh karena keluarga tempat segala tumpuan harapan dan cita-cita anak tersedia.
Basis kedua adalah sekolah. Pada rentang waktu usia sekolah, pendidikan anak bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawa orang tua di rumah, tapi juga bersama-sama dengan tenaga pendidik di sekolah mewujudkan pribadi anak yang berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Di sekolah anak-anak dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan demi perkembangan masa depan anak. Di sinilah pendidikan formal anak diberikan, dan disini pula basis penting dalam rentan waktu tumbuh kembang anak kearah yang lebih baik bagi dirinya, keluarga dan agamanya.
Untuk mencapai itu, peran guru tak bisa disepelekan. Dengan berbagai latar belakang pendidikan, sesuai dengan profesionalisme di bidang masing-masing seorang guru akan memberikan bimbingan, didikan dan arahan agar anak didikannya menjadi anak didik sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah dituangkan dalam tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK). Maka bukan mudah menjadi seorang pendidik, karena yang mereka hadapi bukanlah robot melainkan manusia yang memiliki karakteristik berbeda-beda setiap anak. kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah menjadi panduan dalam merumuskan kriteria keberhasilan anak didik. Peran guru dewasa ini bukan hanya sebatas transfer of knowledge, tapi seorang guru harus berperan sebagai transfer of value (nilai) terhadap anak didiknya.
Persoalannya adalah menyiapkan tenaga pendidik sesuai dengan harapan dan cita-cita kita semua bukanlah perkara mudah. Membutuhkan perhatian serius dari pemerintah agar apa yang diharapkan dapat benar-benar terjadi. Bagaimana seorang guru mampu mengaplikasikan keilmuannya tanpa dibarengi dengan peralatan pembelajaran yang siap pakai. Sehingga apapun keperluan guru dalam mengaplikasikan keilmuannya dapat terlaksana dengan maksimal. Disisi lain, seorang guru juga di tuntut untuk terus meningkatkan kapasitas dirinya untuk demi kemaslahatan semua.
Munculnya fenomena bahwa sekolah dan guru diarahkan sebagai tanggung jawab mutlak terhadap keberhasilan anak didik. Fenomena ini terjadi bisa jadi disebabkan dari beberapa hal diantaranya, kurang pahamnya orang tua terhadap pendidikan anak yang menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada sekolah karena alasan keluarganya sibuk bekerja. Tidak jarang, ada anak yang tidak bisa mengikuti proses pendidikan sebagaimana mestinya karena harus membantu orang tuanya bekerja. Fenomena-fenomena itulah potret baru pendidikan kita di Aceh. Sudah seharusnya pemerintah dan elemen swasta bekerja sama untuk merubah pola pikir masyarakah Aceh saat ini.
Basis ketiga adalah masyarakat. Peranan masyarakat sangat menentukan juga terhadap pembentukan kepribadian anak. Anak akan bersosialisasi dengan temannya, warga sekitarnya dalam kehidupan kelompok masyarakat sangat dominan. Jadi tak jarang anak dengan kehidupan sosialnya yang kurang kondusif akan berdampak terhadap keberhasilan seorang anak akan lambat. Sebagai kata akhir, bahwa pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua dalam keluarganya, namun sekolah dan masyarakat turun bemberikan andil besar terhadap kepribadian anak. Jangan pernah menyalahkan anak terhadap kekeliruan yang dibuatnya tapi lihatlah apa yang terjadi dalam keluarganya, sekolah dan dalam masyarakatnya. Anak tidak pernah menjadi pelaku kekeliruan tapi anak adalah korban kekeliruan yang terjadi di sekitarnya.
No comments:
Post a Comment