Pendidikan Berwawasan Unggul
Sûřįŷă-Ăŧĵěĥ - INDONESIA dalam beberapa tahun terakhir harum dalam bidang sains. Dalam berbagai ajang bergengsi Olimpiade Sains Internasional Indonesia sering menyabet banyak medali, bahkan sering mendulang medali emas. Posisi Indonesia dalam even-even Internasional yang penting itu, pernah melampui prestasi negara-negara maju, seperti Rusia, Taiwan, dan Korea Selatan. Para siswa yang meraih prestasi “gemilang” itu pada umumnya berasal dari sekolah dan lembaga “penggemblengan” berwawasan keunggulan. Mereka punya komitmen dan berjibaku melahirkan siswa-siswa unggul (berprestasi). Tidak kalah pentingnya adalah dukungan dari para guru yang mumpuni dan profesional.
Jumlah siswa yang gemilang semacam itu hanya segelintir jumlahnya, sedangkan sebagian besar siswa kita prestasinya sangat memprihatinkan. Potret dunia pendidikan negeri ini masih buram dan memprihatinkan. Sebagian besar sekolah kita kualitasnya masih rendah dan masih berkutat dengan persoalan kekurangan guru yang profesional dan mau mendedikasikan dirinya untuk keberhasilan siswanya. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan yang masih minim dan segudang persoalan klasik pendidikan lainnya, seperti manajemen berbasis sekolah yang amburadul dan bongkar pasang, otonomi sekolah yang setengah hati, kepemimpinan pendidikan yang asal cangkok, dan sebagainya. Oleh karena itu, sekolah-sekolah di negeri ini berpikir tentang pendidikan yang berwawasan keunggulan masih sebatas wacana, kalau tidak bisa dikatakan “masih jauh panggang dari api.”
Jumlah siswa yang gemilang semacam itu hanya segelintir jumlahnya, sedangkan sebagian besar siswa kita prestasinya sangat memprihatinkan. Potret dunia pendidikan negeri ini masih buram dan memprihatinkan. Sebagian besar sekolah kita kualitasnya masih rendah dan masih berkutat dengan persoalan kekurangan guru yang profesional dan mau mendedikasikan dirinya untuk keberhasilan siswanya. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan yang masih minim dan segudang persoalan klasik pendidikan lainnya, seperti manajemen berbasis sekolah yang amburadul dan bongkar pasang, otonomi sekolah yang setengah hati, kepemimpinan pendidikan yang asal cangkok, dan sebagainya. Oleh karena itu, sekolah-sekolah di negeri ini berpikir tentang pendidikan yang berwawasan keunggulan masih sebatas wacana, kalau tidak bisa dikatakan “masih jauh panggang dari api.”
Itulah potret dunia pendidikan kita. Hasil Ujian Nasional baru-baru ini memberi “warning” bahwa hasil kerja pendidikan sungguh masih berada pada titik nadir. Berbagai usaha yang telah dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, sebaliknya masih “jalan di tempat.” Konon, ada pengamat yang mengatakan, hasil kerja pendidikan selama ini semakin mundur. Ironisnya, keadaan itu terjadi, justru di saat dunia pendidikan mendapat servis dana yang “wah” dengan tingkat kesejahtraan guru yang jauh lebih baik dengan tunjangan “sertifikasinya”. Bandingkan dengan beberapa waktu yang lalu. Bukankah guru tempo doeloe, hanya mengandalkan gaji yang tak seberapa, sehingga dijuluki sosok “Umar Bakri”. Namun, dedikasi mereka pantas diacungkan jempol.
Mendongkrak kualitas pendidikan bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, bukan pula seperti menghidupkan lampu aladin: bin salabin. Mendongkrak kualitas pendidikan bukan bak cerita “Bandung-Bondowoso” membangun candi siap dalam semalam. Tetapi, memerlukan sebuah proses dengan investasi yang serius di bidang sumber daya manusia. Pembangunan dunia pendidikan kata orang arif merupakan pembangunan “mega proyek multi years” yang hasilnya baru bisa dirasakan satu atau dua generasi berikutnya.
Sebagian guru telah mendapat sertifikasi. Namun proses sertifikasi itu masih dipertanyakan. Secara kasat mata penilaian sertifikasi lebih mengarah pada dokumen administratif dan kesenioran. Sementara profesionalitas bukan hanya dilihat dari kemampuan administratif, tetapi pada tataran teknis edukasi yang sangat kompleks dan komprehensif. Bagaimana seorang guru berdiri di hadapan siswa melakukan pengelolaan kelas, bagaimana penguasaan materi, metode dan seni mentransfernya kepada peserta didik, seharusnya juga menjadi aspek penilaian untuk mendapatkan sertifikasi.
Sudah menjadi rasia umum, masih banyak guru yang penguasaan materi dan cara mengajarnya sangat dangkal, monoton dan membosankan peserta didik. Siswa menjadi jenuh dan “antipati” pada guru, sehingga cenderung menimbulkan tindak kekerasan baik yang dilalukan guru terhadap siswa maupun oleh siswa terhadap guru. Sebagian guru kita minat bacanya masih sangat kurang. Belum lagi kemampuan mereka berselancar di dunia maya “internet” juga masih “gamang”. Padahal buku dan internet dewasa ini merupakan kebutuhan dan sumber referensi yang kaya, akurat dan actual. Bukankah informasi tentang ilmu pengetahuan terus berkembang, bahkan dalam hitungan waktu yang sangat cepat.
Peran Pemerintah Daerah
Salah satu buah dari reformasi, bangsa Indonesia sejak awal 2001 mengubah tata kelola pemerintahannya dari yang semula bersifat sentralistis menjadi desentralistis. Di era desentralistis (otonomi daerah), pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing. Kewenangan tersebut setidaknya tertera dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Berarti dengan otonomi daerah kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki “political will” dan “political action” yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup besar bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju.
Dewasa ini banyak daerah di Indonesia memanfaatkan ruang otonomi daerah untuk memotong jalan kompas memajukan pendidikan daerahnya. Berbagai terobosan mereka lakukan, seperti mempertahankan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, bahkan ada daerah yang berani mengalokasikan lebih dari 20 persen untuk sektor pendidikan. Dana tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur lembaga pendidikan dan menggratiskan biaya pendidikan. Bahkan para guru disubsidi dengan angka yang lumayan besarnya, agar bisa menjalankan profesinya dengan maksimal. Guru-guru yang belum mencapai jenjang pendidikan strata satu, diberikan kesempatan dan bantuan bagi mereka untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan strata satu.
Salut dan acungan jempol untuk pemerintah daerah yang punya “nyali” membangun dan membiayai sekolah-sekolah berwawasan keunggulan, seperti sekolah model bertaraf nasional dan internasional. Namun, tidak diskriminatif, seperti yang terjadi selama ini, sekolah-sekolah model hanya untuk anak-anak kalangan mampu, sehingga dijuluki “sekolah menara gading.” Pendidikan merupakan jalan emas untuk maju. Itulah mungkin semboyan yang mengilhami mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchil. Ia, berjibaku mempertahankan anggaran pendidikan saat itu, ketika anggota parlemen Inggris Raya mendesak memangkas dan mengalihkannya untuk membeli mesin-mesin perang, seperti persenjataan dan pesawat tempur canggih agar tidak terulang kekalahan yang dialami Inggris dalam Perang Dunia I.
Dengan suara menggelegar dan nada tinggi, Sang PM yang legendaris itu, sambil mengacungkan tangannya kepada anggota parlemen, mengatakan, “Saya menentang anggaran pendidikan dipangkas dan dialihkan untuk membeli mesin-mesin perang. Bukankah saya dan Anda semua dapat duduk di gedung parlemen yang megah ini karena pendidikan?”
Mendongkrak kualitas pendidikan bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, bukan pula seperti menghidupkan lampu aladin: bin salabin. Mendongkrak kualitas pendidikan bukan bak cerita “Bandung-Bondowoso” membangun candi siap dalam semalam. Tetapi, memerlukan sebuah proses dengan investasi yang serius di bidang sumber daya manusia. Pembangunan dunia pendidikan kata orang arif merupakan pembangunan “mega proyek multi years” yang hasilnya baru bisa dirasakan satu atau dua generasi berikutnya.
Sebagian guru telah mendapat sertifikasi. Namun proses sertifikasi itu masih dipertanyakan. Secara kasat mata penilaian sertifikasi lebih mengarah pada dokumen administratif dan kesenioran. Sementara profesionalitas bukan hanya dilihat dari kemampuan administratif, tetapi pada tataran teknis edukasi yang sangat kompleks dan komprehensif. Bagaimana seorang guru berdiri di hadapan siswa melakukan pengelolaan kelas, bagaimana penguasaan materi, metode dan seni mentransfernya kepada peserta didik, seharusnya juga menjadi aspek penilaian untuk mendapatkan sertifikasi.
Sudah menjadi rasia umum, masih banyak guru yang penguasaan materi dan cara mengajarnya sangat dangkal, monoton dan membosankan peserta didik. Siswa menjadi jenuh dan “antipati” pada guru, sehingga cenderung menimbulkan tindak kekerasan baik yang dilalukan guru terhadap siswa maupun oleh siswa terhadap guru. Sebagian guru kita minat bacanya masih sangat kurang. Belum lagi kemampuan mereka berselancar di dunia maya “internet” juga masih “gamang”. Padahal buku dan internet dewasa ini merupakan kebutuhan dan sumber referensi yang kaya, akurat dan actual. Bukankah informasi tentang ilmu pengetahuan terus berkembang, bahkan dalam hitungan waktu yang sangat cepat.
Peran Pemerintah Daerah
Salah satu buah dari reformasi, bangsa Indonesia sejak awal 2001 mengubah tata kelola pemerintahannya dari yang semula bersifat sentralistis menjadi desentralistis. Di era desentralistis (otonomi daerah), pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing. Kewenangan tersebut setidaknya tertera dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Berarti dengan otonomi daerah kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki “political will” dan “political action” yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup besar bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju.
Dewasa ini banyak daerah di Indonesia memanfaatkan ruang otonomi daerah untuk memotong jalan kompas memajukan pendidikan daerahnya. Berbagai terobosan mereka lakukan, seperti mempertahankan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, bahkan ada daerah yang berani mengalokasikan lebih dari 20 persen untuk sektor pendidikan. Dana tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur lembaga pendidikan dan menggratiskan biaya pendidikan. Bahkan para guru disubsidi dengan angka yang lumayan besarnya, agar bisa menjalankan profesinya dengan maksimal. Guru-guru yang belum mencapai jenjang pendidikan strata satu, diberikan kesempatan dan bantuan bagi mereka untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan strata satu.
Salut dan acungan jempol untuk pemerintah daerah yang punya “nyali” membangun dan membiayai sekolah-sekolah berwawasan keunggulan, seperti sekolah model bertaraf nasional dan internasional. Namun, tidak diskriminatif, seperti yang terjadi selama ini, sekolah-sekolah model hanya untuk anak-anak kalangan mampu, sehingga dijuluki “sekolah menara gading.” Pendidikan merupakan jalan emas untuk maju. Itulah mungkin semboyan yang mengilhami mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchil. Ia, berjibaku mempertahankan anggaran pendidikan saat itu, ketika anggota parlemen Inggris Raya mendesak memangkas dan mengalihkannya untuk membeli mesin-mesin perang, seperti persenjataan dan pesawat tempur canggih agar tidak terulang kekalahan yang dialami Inggris dalam Perang Dunia I.
Dengan suara menggelegar dan nada tinggi, Sang PM yang legendaris itu, sambil mengacungkan tangannya kepada anggota parlemen, mengatakan, “Saya menentang anggaran pendidikan dipangkas dan dialihkan untuk membeli mesin-mesin perang. Bukankah saya dan Anda semua dapat duduk di gedung parlemen yang megah ini karena pendidikan?”
No comments:
Post a Comment