Menata Kembali Sistem Hukum
Sûřįŷă-Ăŧĵěĥ - Pisau hukum kita tajam ke bawah tumpul ke atas. Belakangan ini, kita sering mendengar sindiran bagi sistem hukum tersebut. Jika Dewi Keadilan itu matanya tertutup, boleh jadi sekarang matanya akan terbuka ketika melihat gepokan uang. Sistem hukum kita sebatas dimaknai transaksional. Sayang, harga dirinya dibayar dengan uang belasan atau puluhan juta rupiah saja.
Karakter
Untuk lebih jelasnya, kita simak karakter sistem hukum Indonesia belakangan ini.
Karakter
Untuk lebih jelasnya, kita simak karakter sistem hukum Indonesia belakangan ini.
• Korup. Power tends to corrupt. Absolutely power is corrupt ablsolutly. Kita tidak bisa menyapu lantai kotor dengan sapu kotor. Sistem hukum kita sedang dan telah terkontaminasi sistem dan person (manusia) yang korup. Akibatnya, seperti lingkaran setan yang sulit diputus mata rantainya karena saling berkait.
• Abuse of power (penyalahgunaan wewenang). Sistem hukum kita diikat oleh kuasa moral dan kuasa struktural. Namun,sepertinya kuasa moral sudah mati gaungnya. Akibatnya, muncul kuasa struktural yang melahirkan penguasa (bukan pemimpin). Wewenang dimaknai sebagai kemauan dirinya. Berdasar like or dislike. Tidak bisa membedakan profesional dan emosional. Batasannya sudah kabur.
• Memuja uang. Sekiranya julukan ini tidak berlebihan. Sistem hukum kita memang akan takluk oleh uang. Gayus keluar dari tahanan Mako Brimob, tahanan yang dianggap level nomor satu penjagaan super ketat. Bukan dengan fisik, melainkan uang.
Menata
Menata kembali sistem hukum kita ke tempat selayaknya adalah jalan panjang dan terjal. Rintangan akan menghalau karena banyak pihak yang berkepentingan di sana. Berikut ini langkah untuk menata kembali sistem hukum yang telah carut marut ini.
• Kultural. Budaya yang harus diubah. Rutinitas pergantian pucuk pimpinan Kapolri, Kejagung, KPK, dan sebagainya, seolah menjadi seremoni biasa. Namun, kultural (budaya) yang dianut para penegak hukum kita masih itu-itu saja. Reformasi kultural ini berjalan di tempat. Sistem hukum harus mempununyai kultur yang luhur dan bermoral. Mencerminkan fairness, integritas, dan kejujuran.
• Komitmen politik. Jika political will para pemimpin nasional ini takarannya kecil, sulit untuk membuat sistem hukum kita berubah. Justru gerak para koruptor akan leluasa. Mafia hukum akan merajalela. Tidak sekadar kata, tetapi juga action.
• Efek jera. Bagi orang yang sudah melecehkan sistem hukum kita dipertimbangkan untuk menerima hukuman berat jika mau meniru Cina yang berani menghukum mati koruptor. Namun, untuk konteks Indonesia, bisa diterapkan metode pemiskinan, kerja sosial, sanksi sosial, dan sebagainya. Efek jera ini harus memberi shock therapy yang dalam bagi calon penjahat lainnya agar berpikir ratusan kali untuk menembus sistem hukum kita.
• Abuse of power (penyalahgunaan wewenang). Sistem hukum kita diikat oleh kuasa moral dan kuasa struktural. Namun,sepertinya kuasa moral sudah mati gaungnya. Akibatnya, muncul kuasa struktural yang melahirkan penguasa (bukan pemimpin). Wewenang dimaknai sebagai kemauan dirinya. Berdasar like or dislike. Tidak bisa membedakan profesional dan emosional. Batasannya sudah kabur.
• Memuja uang. Sekiranya julukan ini tidak berlebihan. Sistem hukum kita memang akan takluk oleh uang. Gayus keluar dari tahanan Mako Brimob, tahanan yang dianggap level nomor satu penjagaan super ketat. Bukan dengan fisik, melainkan uang.
Menata
Menata kembali sistem hukum kita ke tempat selayaknya adalah jalan panjang dan terjal. Rintangan akan menghalau karena banyak pihak yang berkepentingan di sana. Berikut ini langkah untuk menata kembali sistem hukum yang telah carut marut ini.
• Kultural. Budaya yang harus diubah. Rutinitas pergantian pucuk pimpinan Kapolri, Kejagung, KPK, dan sebagainya, seolah menjadi seremoni biasa. Namun, kultural (budaya) yang dianut para penegak hukum kita masih itu-itu saja. Reformasi kultural ini berjalan di tempat. Sistem hukum harus mempununyai kultur yang luhur dan bermoral. Mencerminkan fairness, integritas, dan kejujuran.
• Komitmen politik. Jika political will para pemimpin nasional ini takarannya kecil, sulit untuk membuat sistem hukum kita berubah. Justru gerak para koruptor akan leluasa. Mafia hukum akan merajalela. Tidak sekadar kata, tetapi juga action.
• Efek jera. Bagi orang yang sudah melecehkan sistem hukum kita dipertimbangkan untuk menerima hukuman berat jika mau meniru Cina yang berani menghukum mati koruptor. Namun, untuk konteks Indonesia, bisa diterapkan metode pemiskinan, kerja sosial, sanksi sosial, dan sebagainya. Efek jera ini harus memberi shock therapy yang dalam bagi calon penjahat lainnya agar berpikir ratusan kali untuk menembus sistem hukum kita.
No comments:
Post a Comment