5 Azas Hukum Perjanjian
Sûřįŷă-Ăŧĵěĥ - Kontrak dan perjanjian kerja sama adalah hal yang sangat sering kita alami dalam hubungan sosial. Dalam sisi hukum, penerapan kontrak dan perjanjian memperhatikan beberapa azas hukum yang diatur dalam KUHP. Pada pasal 1331, dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Hukum perjanjian memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
1. Dua belah pihak, baik satu orang atau lebih, pribadi atau badan hukum, yang berkompeten terhadap perjanjian.
2. Pokok-pokok yang disetujui oleh kedua belah pihak.
3. Pertimbangan hukum.
4. Perjanjian timbal balik.
5. Hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Hukum perjanjian memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
1. Dua belah pihak, baik satu orang atau lebih, pribadi atau badan hukum, yang berkompeten terhadap perjanjian.
2. Pokok-pokok yang disetujui oleh kedua belah pihak.
3. Pertimbangan hukum.
4. Perjanjian timbal balik.
5. Hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Berdasarkan pasal 1320 KUHP, sebuah perjanjian dikatakan sah di mata hukum apabila memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif terdiri dari:
1. adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya,
2. kecakapan untuk membuat perjanjian.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian tersebut bisa dibatalkan (voidable).
Syarat objektif terdiri dari:
1. adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian,
2. adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan secara hukum.
Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, suatu perjanjian disebut batal demi hukum (void/nietig).
Selanjutnya, perjanjian hukum dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai azas yang diatur dalam undang-undang.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Kitab Undang-undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum perjanjian.
1. Azas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas untuk menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme yang memandang bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini adalah Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
2. Azas Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus verbis literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi suatu bentuk yang ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.
3. Azas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim, dll.) harus menghormati substansi perjanjian dan tidak boleh melakukan intervensi. Azas kepastian hukum tersebut termaktub dalam pasal 1338 ayat (1) KUHP.
4. Azas Itikad Baik (Good Faith)
Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu nisbi dan mutlak.
Itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara nyata, sedangkan itikad baik mutlak memandang bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran objektif dan tidak memihak berdasarkan norma-norma yang ada. Azas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3) KUHP.
5. Azas Kepribadian (Personality)
Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan kepentingan diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 1315 KUHP yang berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri,” dan ditegaskan dalam pasal 1340: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Dengan demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHP: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Syarat subjektif terdiri dari:
1. adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya,
2. kecakapan untuk membuat perjanjian.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian tersebut bisa dibatalkan (voidable).
Syarat objektif terdiri dari:
1. adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian,
2. adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan secara hukum.
Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, suatu perjanjian disebut batal demi hukum (void/nietig).
Selanjutnya, perjanjian hukum dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai azas yang diatur dalam undang-undang.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Kitab Undang-undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum perjanjian.
1. Azas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas untuk menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme yang memandang bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini adalah Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
2. Azas Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus verbis literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi suatu bentuk yang ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.
3. Azas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim, dll.) harus menghormati substansi perjanjian dan tidak boleh melakukan intervensi. Azas kepastian hukum tersebut termaktub dalam pasal 1338 ayat (1) KUHP.
4. Azas Itikad Baik (Good Faith)
Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu nisbi dan mutlak.
Itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara nyata, sedangkan itikad baik mutlak memandang bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran objektif dan tidak memihak berdasarkan norma-norma yang ada. Azas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3) KUHP.
5. Azas Kepribadian (Personality)
Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan kepentingan diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 1315 KUHP yang berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri,” dan ditegaskan dalam pasal 1340: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Dengan demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHP: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
No comments:
Post a Comment