Menyingkap Pengelolaan Dana PSSI
Sûřįŷă-Ăŧĵěĥ - Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi menelisik pengelolaan dana sepak bola yang ditangani Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia datang pada saat yang tepat. Organisasi di bawah kepemimpinan Nurdin Halid ini kini tengah disorot publik. Bukan hanya lantaran defisit prestasi, mereka juga tak pernah terbuka mengungkapkan pengelolaan dananya.
Tak pernah jelas, misalnya, berapa sebenarnya uang yang diterima organisasi induk sepak bola Indonesia ini. Ada begitu banyak sumber dana bagi PSSI, tapi tak pernah terdengar ada audit menyeluruh yang hasilnya diumumkan ke publik. Sejauh ini audit baru sebatas keperluan lingkup internal organisasi.
Tak pernah jelas, misalnya, berapa sebenarnya uang yang diterima organisasi induk sepak bola Indonesia ini. Ada begitu banyak sumber dana bagi PSSI, tapi tak pernah terdengar ada audit menyeluruh yang hasilnya diumumkan ke publik. Sejauh ini audit baru sebatas keperluan lingkup internal organisasi.
Sumber pemasukan PSSI antara lain dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk klub-klub daerah di bawahnya. Untuk anggaran terakhir ini, setiap klub sepak bola menggerogoti dana APBD hingga Rp 8-15 miliar setiap tahun. Persipura, misalnya, menerima dana APBD sebesar Rp 15 miliar per tahun.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebenarnya pernah meminta setiap daerah tak menggunakan dana APBD dengan memberikan secara langsung ke klub-klub sepak bola, tapi melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia. Ini ide bagus. Tapi, yang terjadi, hampir semua daerah yang memiliki klub yang bertarung di Liga Super Indonesia bentukan PSSI mengucurkannya langsung.
KONI sendiri masih secara teratur memasok dana ke PSSI setiap tahun, baik untuk PSSI pusat maupun PSSI daerah. Dana berikutnya datang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, yang diklaim pengurus PSSI hanya diberikan beberapa kali dan itu pun sedikit. Klaim itu jelas mengada-ada karena, untuk pembiayaan tim nasional dalam kompetisi ASEAN Football Federation (AFF) saja, Kementerian mengeluarkan dana hingga Rp 20 miliar. Ini tidak sedikit.
Di luar uang negara, PSSI juga mendapat dana dari sponsor Liga Super Indonesia sebesar Rp 27,5 miliar, subsidi FIFA Rp 2,2 miliar, pendaftaran pemain asing sekitar Rp 4,5 miliar, dan denda pelanggaran indisipliner yang tahun lalu mencapai sekitar Rp 4,5 miliar. Ini belum terhitung sumbangan pengusaha dan penjualan pelbagai tiket pertandingan yang belakangan, terutama pada kompetisi Piala AFF, mengundang ketidakberesan.
Pelbagai ketidakberesan ini jelas memunculkan kecurigaan. Dalam kasus AFF, misalnya, PSSI terkesan lepas tangan dari persoalan yang muncul di balik tidak becusnya pengelolaan tiket pertandingan. Apalagi, pada saat masyarakat berjubel memburu tiket, PSSI malah memberikan tiket gratis kepada banyak pejabat. KPK segera tanggap mengusut kasus gratifikasi ini.
Kelugasan yang sama kini dibutuhkan untuk menyelidiki lebih dalam kemungkinan penyimpangan pengelolaan uang negara di PSSI. Kemungkinan itu sangat terbuka karena ada ratusan miliar rupiah uang negara yang mereka kelola. Dugaan ini sudah terbukti dengan ditemukannya ketidakjelasan pertanggungjawaban uang APBD untuk sepak bola di Manado oleh KPK beberapa waktu lalu.
PSSI selayaknya terbuka merespons langkah KPK ini. Bila perlu, mereka membuka akses informasi mengenai audit keuangan PSSI selama enam tahun terakhir di bawah kepemimpinan Nurdin, termasuk mengenai pengelolaan tiket Piala AFF yang diributkan. Justru dengan membuka informasi, PSSI, yang pada dasarnya juga badan publik, bisa menepis kecurigaan adanya praktek korupsi di organisasi mereka.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebenarnya pernah meminta setiap daerah tak menggunakan dana APBD dengan memberikan secara langsung ke klub-klub sepak bola, tapi melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia. Ini ide bagus. Tapi, yang terjadi, hampir semua daerah yang memiliki klub yang bertarung di Liga Super Indonesia bentukan PSSI mengucurkannya langsung.
KONI sendiri masih secara teratur memasok dana ke PSSI setiap tahun, baik untuk PSSI pusat maupun PSSI daerah. Dana berikutnya datang dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, yang diklaim pengurus PSSI hanya diberikan beberapa kali dan itu pun sedikit. Klaim itu jelas mengada-ada karena, untuk pembiayaan tim nasional dalam kompetisi ASEAN Football Federation (AFF) saja, Kementerian mengeluarkan dana hingga Rp 20 miliar. Ini tidak sedikit.
Di luar uang negara, PSSI juga mendapat dana dari sponsor Liga Super Indonesia sebesar Rp 27,5 miliar, subsidi FIFA Rp 2,2 miliar, pendaftaran pemain asing sekitar Rp 4,5 miliar, dan denda pelanggaran indisipliner yang tahun lalu mencapai sekitar Rp 4,5 miliar. Ini belum terhitung sumbangan pengusaha dan penjualan pelbagai tiket pertandingan yang belakangan, terutama pada kompetisi Piala AFF, mengundang ketidakberesan.
Pelbagai ketidakberesan ini jelas memunculkan kecurigaan. Dalam kasus AFF, misalnya, PSSI terkesan lepas tangan dari persoalan yang muncul di balik tidak becusnya pengelolaan tiket pertandingan. Apalagi, pada saat masyarakat berjubel memburu tiket, PSSI malah memberikan tiket gratis kepada banyak pejabat. KPK segera tanggap mengusut kasus gratifikasi ini.
Kelugasan yang sama kini dibutuhkan untuk menyelidiki lebih dalam kemungkinan penyimpangan pengelolaan uang negara di PSSI. Kemungkinan itu sangat terbuka karena ada ratusan miliar rupiah uang negara yang mereka kelola. Dugaan ini sudah terbukti dengan ditemukannya ketidakjelasan pertanggungjawaban uang APBD untuk sepak bola di Manado oleh KPK beberapa waktu lalu.
PSSI selayaknya terbuka merespons langkah KPK ini. Bila perlu, mereka membuka akses informasi mengenai audit keuangan PSSI selama enam tahun terakhir di bawah kepemimpinan Nurdin, termasuk mengenai pengelolaan tiket Piala AFF yang diributkan. Justru dengan membuka informasi, PSSI, yang pada dasarnya juga badan publik, bisa menepis kecurigaan adanya praktek korupsi di organisasi mereka.
No comments:
Post a Comment